smpn1sitiung@gmail.com

Senin, 22 November 2010

Kualitas SDM Jadi Kendala Pendidikan Indonesia

Kualitas sumber daya manusia masih menjadi persoalan utama dalam
bidang pendidikan di Indonesia, baik di tingkat pendidikan tinggi maupun
pendidikan dasar dan menengah. Dari sekitar 160.000 dosen yang ada di
Indonesia, hampir 54 persennya masih belum S-2 dan S-3. Sementara guru,
dari 2,7 juta guru, 1,5 juta di antaranya belum S-i.


Hal tersebut diungkapkan Sekretaris Jenderal Dewan Pendidikan Tinggi
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional
Prof. Nizam yang ditemui seusai seminar pendidikan dalam rangka
Education Festival yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas
Padjadjaran di Aula Unpad, Jln. Dipati Ukur Bandung, Kamis (11/2).


Menurut Nizam, pembenahan kualitas SDM ini memang bukan pekerjaan
mudah. Waktu yang dibutuhkan juga tidak akan sebentar. "Banyak yang
harus dibenahi, tetapi kita harus optimistis karena SDM adalah kunci
utama. Kalau sistemnya bagus tetapi SDM-nya jelek percuma. Tetapi kalau
SDM-nya bagus walaupun sistemnya kurang bagus bisa lebih baik," katanya.


Nizam menuturkan, harus diakui bahwa daya saing Indonesia masih
tertinggal dibandingkan dengan negara lainnya di dunia bahkan di Asia
Tenggara. Berdasarkan data dari Global Competitiveness Report di tahun
2008, Indonesia berada di peringkat 55 sementara di tahun 2005 di
peringkat 69.


"Jauh di bawah Singapura, Malaysia, Cina, dan Thailand. Singapura
berada di peringkat ke-5 sementara Malaysia di peringkat 21 di tahun
2008," ujarnya. Lebih lanjut Nizam menuturkan, pekerjaan rumah yang
dihadapi pendidikan di Indonesia masih cukup besar. Dikti, menurut dia,
tidak mungkin mengatur seluruh sistem dengan permasalahan yang kompleks
dan besar tersebut.


"Perguruan tinggi juga harus sprint untuk mengejar ketinggalan secara
terus-menerus serta fokus dalam pengembangan penelitian untuk menjawab
kebutuhan masyarakat dan membangun reputasi internasional," ungkapnya. I
ak dorong mandiri Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, praktisi
pendidikan yang juga pengajar di Fakultas Psikologi Unpad, Hatta Ml in
nl mengatakan, berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
beberapa kali terhadap anak didik, diperoleh kesimpulan, pendidikan di
Indonesia tidak memberikan tempat untuk kemandirian serta kreativitas
siswa. Metode yang digunakan selama ini hanya mengandalkan memori atau
daya i-ngat siswa semata.


"Matematika hanya menghafalkan rumus, seharusnya memecahkan rumus.
Bahasa hanya menghafalkan grammer, semestinya conversation. Akibatnya
hampir tidak terlihat kegunaan dari pendidikan ini," katanya. Oleh
karena itu, menurut dia, orientasi pendidikan harus segera diubah. Sebab
pendidikan selama ini hanya mementingkan produk, bukan proses yang
sebenarnya jauh lebih penting. "Kita sudah coba ubah salah satunya
dengan Sistem Kredit Semester di perguruan tinggi, tetapi tetap kalah
dengan kekuatan kolektivitas yang sudah ada. Apalagi dasar di pendidikan
sebelumnya sudah tertanam pola itu. Itulah sebabnya sejak awal saya
tidak setuju dengan penjurusan di SMA. Karena siswa yang seharusnya
tidak naik kelas justru diarahkan ke sosial budaya. Mereka kemudian
masuk di jurusan sosial perguruan tinggi. Jadilah mereka hakim, jaksa,
dan pengacara sekarang ini," tuturnya.